Mengapa Pikiran Seseorang Bisa “Tersesat”? Dari “Gila” hingga Terapi
Pernahkah kamu bertanya-tanya, mengapa sebagian orang seperti kehilangan arah dalam pikiran mereka? Mengapa mereka melakukan atau mengatakan hal-hal yang tidak biasa, seolah berada di dunia yang berbeda? Istilah awam “gila” sering kita dengar, namun di balik kata itu tersembunyi kompleksitas gangguan mental yang membutuhkan pemahaman dan empati.
“Gila” bukanlah pilihan atau sekadar sifat buruk, melainkan kondisi medis yang memengaruhi cara seseorang berpikir, merasa, dan berperaku. Ini seperti penyakit lain di tubuh kita, hanya saja ini terjadi di otak—pusat kendali diri kita.
Akar Permasalahan: Mengapa Seseorang Bisa Mengalami Gangguan Mental?
Mengapa seseorang bisa “tersesat” dalam pikirannya? Jawabannya tidak tunggal, seringkali merupakan hasil dari perpaduan beberapa faktor:
- Faktor Biologis: Otak yang Berbeda Ritme Bayangkan otak sebagai orkestra dengan banyak instrumen. Terkadang, beberapa instrumen (seperti zat kimia otak atau neurotransmiter seperti dopamin atau serotonin) tidak bermain dengan harmoni yang tepat. Ketidakseimbangan ini bisa memengaruhi mood, energi, tidur, bahkan cara kita melihat realitas. Selain itu, genetika (riwayat keluarga) atau struktur otak yang berbeda juga bisa meningkatkan kerentanan.
- Faktor Psikologis: Luka Batin yang Mendalam Hidup itu penuh tantangan, dan beberapa pengalaman bisa meninggalkan luka yang sangat dalam. Trauma (seperti kekerasan, pelecehan, atau kecelakaan parah), stres kronis yang tak tertangani, atau pola pikir negatif yang terus-menerus bisa mengikis kesehatan mental kita. Pikiran kita bisa terjebak dalam lingkaran setan yang sulit diputus sendiri.
- Faktor Sosial: Lingkungan yang Tidak Mendukung Manusia adalah makhluk sosial. Lingkungan sekitar sangat memengaruhi kita. Diskriminasi, kemiskinan, isolasi sosial, atau kurangnya dukungan dari orang terdekat bisa menjadi pemicu atau memperparuk kondisi mental. Bayangkan hidup dalam tekanan terus-menerus tanpa ada sandaran—tentu sangat berat.
Seringkali, ketiga faktor ini saling berinteraksi. Seseorang mungkin punya kerentanan genetik, lalu mengalami trauma di lingkungan yang tidak mendukung, dan akhirnya memicu gangguan mental.
Ketika Otak “Tersesat”: Apakah Ia Tetap Berfungsi?
Ini pertanyaan penting yang sering disalahpahami. Ketika seseorang mengalami gangguan mental, bukan berarti otaknya berhenti berfungsi atau rusak total. Otak mereka tetap berfungsi sebagai otak manusia, namun dengan beberapa area atau sistem yang bekerja secara tidak optimal atau berbeda dari biasanya.
Bayangkan lampu yang berkedip-kedip, bukan mati total. Fungsinya terganggu, tapi masih memancarkan cahaya. Sama halnya, otak tetap melakukan fungsi vital seperti bernapas, berpikir dasar, dan merasakan. Yang terganggu adalah bagaimana informasi diproses, emosi diatur, atau realitas diinterpretasikan. Seseorang dengan depresi mungkin kesulitan merasa bahagia, sementara pengidap skizofrenia mungkin mengalami delusi atau halusinasi. Ini adalah tanda bahwa ada “hubungan pendek” atau “ketidakseimbangan” dalam sistem kompleks otak.
Dan yang terpenting, mereka tetaplah manusia seutuhnya dengan perasaan, ingatan, dan martabat.
Menemukan Jalan Kembali: Peran Terapi
Kabar baiknya, kondisi ini bisa ditangani. Proses “menyembuhkan” dalam konteks gangguan mental lebih tepat disebut pemulihan atau pengelolaan gejala. Salah satu pilar utamanya adalah terapi bicara (psikoterapi).
Terapi bicara bukanlah sekadar ngobrol biasa. Ini adalah proses terstruktur yang dipandu oleh terapis profesional (psikolog klinis atau psikiater yang mendalami psikoterapi). Dalam sesi terapi, kamu akan diajak untuk:
- Mengidentifikasi Akar Masalah: Memahami apa yang memicu pikiran dan perasaan yang mengganggu.
- Mengubah Pola Pikir: Belajar mengenali dan mengubah cara berpikir negatif atau merusak (seperti dalam Terapi Perilaku Kognitif/CBT).
- Mengembangkan Strategi Koping: Membangun cara-cara yang lebih sehat untuk menghadapi stres dan tantangan hidup.
- Meningkatkan Keterampilan Sosial: Belajar berkomunikasi lebih efektif dan membangun hubungan yang sehat.
- Memproses Trauma: Mengatasi pengalaman traumatis yang mungkin belum terselesaikan.
Untuk beberapa kondisi yang lebih parah atau persisten, terapi bicara seringkali dikombinasikan dengan pemberian obat-obatan yang diresepkan oleh psikiater. Obat membantu menstabilkan kimia otak, sementara terapi membantu mengatasi pola pikir dan perilaku.
Proses pemulihan ini membutuhkan waktu, kesabaran, dan komitmen. Namun, dengan bantuan yang tepat, banyak individu yang mengalami gangguan mental dapat mengelola gejala mereka, membangun kehidupan yang lebih stabil, produktif, dan bermakna. Ini adalah perjalanan untuk menemukan kembali jalur pikiran yang “tersesat” dan kembali berfungsi sebagai manusia seutuhnya.
Eksplorasi konten lain dari Goonung
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan komentar