Anda sering memuja Delapan Dewa (Ba Xian) dalam mitologi Tiongkok sebagai simbol kebajikan dan keberuntungan. Namun, di balik jubah keabadian mereka, tersembunyi kisah-kisah perjuangan melawan sifat-sifat yang sangat “manusiawi,” bahkan cenderung “buruk.” Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa jalan menuju pencerahan tidaklah mudah, bahkan bagi mereka yang ditakdirkan menjadi Dewa.
Mari kita selami sisi lain dari Delapan Dewa, melihat bagaimana mereka, pada awalnya, melambangkan kelemahan yang justru sering kita temui dalam diri kita sendiri:
1. Lan Caihe: Simbol “Kemalasan” dan Ketidakpedulian Duniawi
Mari kita mulai dengan Lan Caihe. Sering digambarkan sebagai sosok yang riang, dengan keranjang bunga dan identitas gender yang ambigu, Lan Caihe adalah gambaran kebebasan sejati—bebas dari ikatan harta, pekerjaan, dan bahkan norma sosial. Bagi banyak orang, gaya hidup “santai” ini, tanpa ambisi duniawi atau keinginan untuk bekerja keras, bisa disalahartikan sebagai kemalasan atau ketidakpedulian terhadap tanggung jawab. Namun, justru dalam “kemalasan” inilah Lan Caihe menemukan kebahagiaan sejati, tidak terbebani oleh ekspektasi masyarakat.
2. Zhongli Quan: Dari “Keserakahan Harta/Kekuatan” dan Judi
Pada beberapa versi cerita, Zhongli Quan digambarkan memiliki kecenderungan untuk berjudi atau bertaruh di awal hidupnya. Ini melambangkan keserakahan terhadap harta materi dan ketidakdisiplinan. Perjalanannya mengajarkan bahwa kebijaksanaan dan kemurahan hati sejati datang dari melupakan keuntungan pribadi dan melayani orang lain, bukan hanya memupuk kekuatan atau kekayaan untuk diri sendiri.
3. Li Tieguai: “Kesombongan Fisik” yang Terhempas
Li Tieguai adalah Dewa yang harus meninggalkan tubuh fisiknya yang sempurna untuk kemudian bersemayam dalam tubuh seorang pengemis pincang. Kisah ini mengajarkan tentang kesombongan fisik atau keterikatan berlebihan pada penampilan luar. Awalnya, ia mungkin terlalu bangga dengan wujudnya, dan melalui penderitaan ini, ia belajar kerendahan hati dan belas kasih yang sejati, melampaui bentuk fisik.
4. Lü Dongbin: Ujian “Nafsu dan Ambisi” Duniawi
Sebagai pemimpin para Dewa, Lü Dongbin sering menghadapi berbagai godaan yang merepresentasikan nafsu, ambisi, dan kemarahan manusiawi. Kisah-kisah ujiannya menunjukkan perjuangan keras melawan keinginan duniawi yang mengikat, membuktikan bahwa bahkan seorang calon Dewa harus menaklukkan sisi gelap dalam dirinya.
5. Zhang Guo Lao: “Eksentrisitas Berlebihan” dan Penolakan Aturan
Zhang Guo Lao yang gemar menunggang keledai mundur dan memiliki kebiasaan eksentrik, bisa diinterpretasikan sebagai keengganan untuk mengikuti norma sosial atau eksentrisitas berlebihan yang membuatnya terkesan tidak peduli dengan pandangan orang lain. Sifatnya yang misterius dan tidak konvensional mungkin awalnya dianggap “aneh” atau bahkan kurang sopan oleh masyarakat yang menjunjung tinggi keteraturan.
6. He Xiangu: “Fanatisme” dalam Pencarian Spiritual
He Xiangu yang sangat fokus pada praktik spiritual dan hidup menyendiri, terkadang bisa diartikan sebagai fanatisme atau ekstremisme dalam pencarian pencerahan, sampai mengabaikan hubungan sosial dan keluarga. Perjalanannya kemudian menunjukkan bahwa spiritualitas sejati juga mencakup belas kasih dan pelayanan kepada sesama.
7. Han Xiangzi: “Ketidakpraktisan” dan Pengabaian Dunia Nyata
Han Xiangzi, sang musisi, sering digambarkan terlalu asyik dengan seninya hingga mengabaikan hal-hal praktis dalam hidup dan tanggung jawab duniawi. Ini bisa melambangkan ketidakpraktisan atau kurangnya realisme dalam menghadapi tuntutan hidup. Namun, dari sinilah ia membawa keindahan dan harmoni yang melampaui materi.
8. Cao Guojiu: Penolakan Terhadap “Korupsi” dan Kesombongan Bangsawan
Cao Guojiu berasal dari keluarga bangsawan yang korup dan terjerat kesombongan. Keberangkatannya dari lingkungan tersebut dan pencariannya akan pencerahan merepresentasikan penolakan terhadap korupsi, kesombongan, dan keterikatan pada kemewahan duniawi. Ia mengajarkan bahwa bahkan dari latar belakang yang paling “buruk” pun, seseorang bisa menemukan jalan kebaikan.
Refleksi Diri dari Para Dewa
Melihat Delapan Dewa dari sudut pandang ini tidak mengurangi keagungan mereka. Sebaliknya, hal ini justru menegaskan bahwa perjalanan menuju kesempurnaan adalah proses yang universal. Sifat-sifat yang kita anggap “buruk” atau kelemahan manusiawi ini adalah bagian dari diri kita yang harus diakui, dipahami, dan diatasi. Para Dewa ini, melalui kisah mereka, menjadi cermin bagi kita untuk merenungkan perjuangan kita sendiri dalam mencapai versi terbaik dari diri kita.
Menurut Anda, sifat “buruk” mana dari para Dewa ini yang paling relatable dengan kehidupan modern kita? Bagikan pendapat Anda di kolom komentar!
Eksplorasi konten lain dari Goonung
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan komentar